Perang panjang di Gaza sejak Oktober 2023 telah meninggalkan jejak tragedi kemanusiaan yang sulit dilupakan. Berdasarkan hasil survei kematian independen pertama yang dilakukan sepanjang konflik, diperkirakan hampir 84.000 orang tewas di Gaza hingga awal Januari 2025. Jumlah ini mengejutkan banyak pihak karena jauh melampaui populasi seluruh Dataran Tinggi Golan, kawasan perbukitan strategis yang sejak lama diduduki Israel.
Dataran Tinggi Golan saat ini dihuni sekitar 54.000 orang, terdiri dari sekitar 28.000 pemukim Yahudi Israel dan sekitar 26.000 warga Arab Suriah, mayoritas Druze, yang masih menetap di lima desa utama di wilayah tersebut. Jumlah penduduk di kawasan ini selama bertahun-tahun relatif stabil karena kebijakan ketat Israel terhadap penduduk asli Suriah di wilayah itu.
Perbandingan kedua angka ini menggambarkan besarnya skala korban jiwa yang jatuh di Gaza. Dalam kurun waktu lebih dari setahun perang, korban tewas di Gaza hampir mencapai satu setengah kali lipat dari total penduduk Dataran Tinggi Golan. Ini menjadi salah satu tragedi paling berdarah dalam sejarah konflik Israel–Palestina.
Studi yang mencatat jumlah korban di Gaza menyebutkan lebih dari separuh korban adalah perempuan dewasa, anak-anak, dan orang lanjut usia. Situasi ini makin diperburuk karena infrastruktur medis di Gaza porak-poranda akibat gempuran tanpa henti. Rumah sakit, klinik, dan pusat layanan kesehatan yang menjadi rujukan penghitungan korban pun hancur.
Sementara itu, Dataran Tinggi Golan tetap menjadi kawasan strategis Israel dengan populasi kecil, tetapi penting secara geopolitik. Kawasan ini dikuasai sejak 1967 dan hanya dihuni sekitar 54.000 penduduk. Meski menjadi wilayah sengketa internasional, Golan relatif aman dari konflik langsung yang menghancurkan seperti di Gaza.
Laporan terbaru dari Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza per 25 Juni 2025 mencatat 56.200 korban jiwa secara resmi. Namun data ini sering diperdebatkan karena kesulitan dalam pencatatan di tengah serangan militer. Banyak pihak meyakini angka sebenarnya jauh lebih tinggi, terutama setelah beberapa rumah sakit utama tidak lagi bisa beroperasi.
Survei kematian independen yang dipublikasikan melalui preprint server medRxiv pekan lalu memperkirakan angka korban bisa mencapai 84.000 jiwa. Meski belum melalui proses peer review, studi ini menjadi gambaran awal tentang skala kerusakan kemanusiaan yang lebih besar dari apa yang tercatat secara resmi.
Di sisi lain, komunitas Arab Suriah di Dataran Tinggi Golan yang terdiri dari warga Druze dan Alawite tetap bertahan di tengah status mereka yang belum diakui sebagai warga negara penuh Israel. Jumlah mereka sekitar 26.000 orang, tersebar di lima desa yang sebagian besar menolak kewarganegaraan Israel sejak 1967.
Pemukim Yahudi Israel yang tinggal di Golan berjumlah sekitar 28.000 jiwa, tersebar di 30 permukiman resmi. Kehidupan di kawasan ini jauh dari ancaman perang besar, meskipun Israel beberapa kali melakukan serangan udara ke wilayah perbatasan Suriah untuk menghadapi milisi bersenjata di seberangnya.
Kondisi di Gaza kontras dengan situasi di Golan yang stabil. Perang di Gaza menyebabkan gelombang pengungsian, kerusakan infrastruktur total, dan sistem kesehatan yang lumpuh total. Sebaliknya, di Dataran Tinggi Golan, permukiman berjalan normal dengan fasilitas layanan publik yang lengkap dan dukungan penuh dari pemerintah Israel.
Tragedi kemanusiaan di Gaza menciptakan luka dalam di dunia Arab. Banyak kalangan menyayangkan bahwa jumlah korban yang sedemikian besar sampai melebihi populasi seluruh Dataran Tinggi Golan tidak diiringi dengan solusi damai yang konkret. Upaya gencatan senjata pun kerap gagal karena kebuntuan diplomatik.
Sejumlah analis menilai perbandingan ini menunjukkan betapa timpangnya dampak konflik di berbagai wilayah yang berada dalam kendali Israel. Golan yang strategis tetap dipertahankan stabil, sementara Gaza terus mengalami eskalasi kekerasan dengan korban sipil dalam jumlah masif.
Walau demikian, warga di Dataran Tinggi Golan yang masih berstatus penduduk Arab Suriah tetap memperjuangkan identitasnya. Mereka terus menolak aneksasi penuh Israel meski ditawari berbagai fasilitas. Kondisi mereka juga berbeda jauh dari warga Gaza yang kehilangan rumah, keluarga, dan masa depan akibat serangan militer.
Perbedaan jumlah korban dan populasi ini mencerminkan kesenjangan besar dalam penanganan krisis kemanusiaan di kawasan tersebut. Gaza menjadi simbol penderitaan, sementara Golan menjadi lambang kontrol geopolitik Israel di perbatasan utara.
Hingga saat ini, dunia internasional terus menyoroti tingginya angka korban di Gaza. Beberapa organisasi kemanusiaan mendesak dibukanya akses bantuan dan penghitungan korban yang lebih akurat. Banyak pihak yakin jumlah korban terus bertambah di luar catatan resmi.
Di wilayah Dataran Tinggi Golan, penduduk Arab setempat tetap hidup di bawah ketentuan hukum militer Israel. Meski jarang terjadi bentrokan langsung, mereka berada dalam situasi politik sensitif, sementara pemukim Yahudi menikmati kehidupan modern dengan dukungan penuh pemerintah.
Konflik Gaza telah menjadi krisis kemanusiaan terbesar di Timur Tengah dalam dua dekade terakhir. Jumlah korban yang melebihi populasi kawasan strategis seperti Dataran Tinggi Golan menjadi cermin kelam situasi kemanusiaan yang belum menemukan jalan keluar.
Banyak pemerhati politik regional menyebut bahwa perbandingan jumlah korban dan penduduk ini bisa menjadi momen refleksi bahwa harga sebuah konflik jauh lebih tinggi dari sekadar perebutan wilayah. Jumlah nyawa manusia yang hilang dalam waktu singkat jauh melampaui angka penduduk di kawasan strategis yang selama ini menjadi sengketa.
Dengan hampir 84.000 jiwa tewas di Gaza, angka itu bukan hanya statistik. Setiap angka adalah cerita keluarga, anak-anak, perempuan, dan orang tua yang tidak sempat menyelamatkan diri. Angka itu kini resmi lebih besar dari jumlah penduduk Dataran Tinggi Golan yang selama lima dekade terakhir hidup di bawah kontrol penuh Israel.